Minggu, 20 Mei 2012

RESENSI BUKU NEGARA PARIPURNA

Informasi Dasar Buku
 Judul : Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011
Tebal : 665 halaman
ISBN : 978-979-22-6947-5

 Membaca karya Yudi Latif ini, berjudul Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, serasa menyelami telaga bening. Semuanya begitu jernih terlihat. Menemukan butiran mutiara masa lalu yang begitu berharga. Begitu selesai, lalu tiba-tiba batin berbisik lirih: Indonesia ternyata luar biasa!

 Jazirah nusantara yang kondang dengan aneka sebutan (semisal Zamrud Katulistiwa versi Multatuli, atau sepotong surga yang terlempar ke bumi versi puisi Sapardi Djoko Damono) ternyata bukan hanya memiliki keelokan fisik dan kekayaan alam. Tapi juga kandungan sejarah, kekuatan nilai, dan gagasan-gagasan orisinal.

 Di bumi tempat kita berpijak ini juga terletak warisan ideologi yang menjadi alat perekat, yaitu Pancasila. Tetapi memang selalu terjadi: bahwa hanya ikan mahluk terakhir yang menyadari betapa pentingnya air laut! Manusia Indonesia pun begitu. Mengabaikan makna penting Pancasila. Menjadikannya sebagai “sesuatu” yang biasa-biasa saja. Dan akan tersadar tentang arti penting dasar negara kita itu, di saat segalanya menjelang runtuh…

 Mimpi besar menjadikan Indonesia digdaya, tergerus aneka konflik dan keruwetan di sana-sini. Makin hari, justru kita makin menjauh dari cita-cita sejati para pejuang tempo doeloe. Malah bisa dibilang: menjaga jiwa dan semangat dasar untuk “bersatu-bersama-bergotong royong” dalam Bhineka Tunggal Ika sajapun, begitu koyak-moyak.

Santapan harian yang tersuguh, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, adalah fenomena anomali (kekacauan). Politik jadi komoditas ekonomi. Sementara ekonomi jadi alat politik. Agama diperlakukan sebagai berhala, sementara budaya diagamakan. Meski sungguh ajaib, betapapun berat goncangan yang menggoyang, negeri ini masih tetap berdiri. Tetapi, sampai kapan?

Inilah pertanyaan terpenting. Dan buku ini justru menjawabnya masalah daya tahan kita sebagai bangsa dengan melongok khasanah sejarah yang tersimpan di masa lalu. Maka sangat pantas, jika buku ini memiliki sub judul: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas.

 Dalam sebuah even diskusi buku, Yudi Latif, intelektual muda merdeka asal Sukabumi ini, memberikan contoh, bahwa tak ada negara yang bisa maju, tanpa berpijak pada akar dan identitas sejatinya. Beberapa Negara yang patut disebut adalah: India (melalui rewriting India, tahun 70-an dan Jepang (via Restorasi Meiji). Berkaca pada pengalaman sendiri, mestinya Indonesia adalah Negara yang berada di garis depan, karena memiliki nilai-nilai fundamental yang digali dari warisan sejati bangsa. Kita bisa melesat, andaikata fundamen dasar itu dijadikan landasan pijak (common platform, atau kalimatun sawa). Tanpa perlu mengoyak dan merobeknya di sana-sini.

 Justru kebutuhan mendesak adalah kreasi aktual dan eksperimen aktual secara terus-menerus. Dan untuk itu, tafsir cerdas serta pikiran brilian dalam menafsirkan Pancasila (sebagai fondasi bangsa) bisa dijadikan sebagai panduan arah. Di sinilah letak penting karya besar Yudi Latif ini. Dan terasa hadir tepat waktu.

Kepicikan

Ada kesan kuat, cara kita ber-Pancasila menonjol dalam dua tipe (yang sama-sama ekstrem). Kubu pro Pancasila, tetapi nyaris irasional dan penuh ego. Kedua, kubu kontra, yang belum menerima sepenuhnya, tetapi juga dengan sikap-sikap emosional, dengan doktrin membabi-buta. Hal ini, yang juga dilihat oleh Franz Magnis Suseno. Menurut Romo Magnis, perlu koreksi dalam bersikap sesuai Pancasila. Dengan menjauhkan tabiat oportunistik dan mengusung agenda sendiri, dengan dalih kebangsaan. Sekaligus mempersempit ruang gerak kaum fundamentalis yang picik. Artinya, baik pihak yang menerima (dengan penuh intrik) ataupun menolak (dengan ekstrem, misalnya di kalangan Islam), sama-sama mengganggu upaya kreatif dan cerdas dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

 Padahal ketika Pancasila dirumuskan, tak ada anasir kepicikan dan oportunisme seperti itu. Para kubu yang berdebat, tetap menerima bahwa memang Pancasila mengusung karakter dasar bangsa ini, yaitu religious, beragam, dan berjiwa gotong royong. Debat dan kontra argumen paling panas sekalipun, tak memelencengkan para founding father (Para Bapak Bangsa) dari komitmen itu. Kubu Islam sekalipun, misalnya, berargumen dan mendesakkan Islam sebagai dasar Negara, dengan misi kemaslahatan. Ini adalah soal perspektif, dan wajar diusulkan. Meski hasilnya, sudah tentu, tidak diterima semua pihak. Inilah kompromi politik ideal. Kubu Islam saat itu, sama sekali tak picik untuk kemudian memisahkan diri, memberontak, ataupun mengganggu komitmen bersama ini.

Sesungguhnya, ini adalah sebentuk makna pengorbanan terbaik dari kalangan Islam waktu itu, demi maslahat bersama. Seperti pemaparan Yudi Latief dalam buku ini, bahwa ada contoh sejarah dalam tradisi Islam, yaitu ketika Rosululloh menerima perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrik Mekah (yang mengecewakan para sahabat, namun bermanfaat di kemudian hari).

Pesan Kuat

Pesan terkuat buku ini, memang terletak di bagian perumusan dan kesepakatan multipihak tatkala Pancasila lahir. Jauh dari pendekatan emosional, melainkan kekuatan nalar, penjelajahan dokumen, dan analisis menyeluruh, buku ini memapar sejumlah rangkai peristiwa di momen penting dan tergenting itu. Hingga jelas, bahwa kesepakatan politik yang kemudian lahir, yaitu menerima Pancasila sebagai dasar Negara, adalah tonggak sejarah terpenting yang menyatukan bangsa ini (selain Sumpah Pemuda, di era sebelumnya).

Menurut buku ini, bukan suatu kebetulan bila sejarah menghendaki kita memiliki warisan khasanah sosial budaya yang begitu kaya dan beragam, namun diikat oleh makna yang bisa diterima semua. Melainkan lahir dari dialektika panjang. Misalnya soal sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini, meski awalnya ditawarkan bebas, bisa di sila pertama, kedua, atau bahkan terakhir, tetaplah sari pati terpenting dari keyakinan yang dianut manusia Indonesia, dari sejak dahulu. Jauh sebelum tradisi agama luar hadir (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen), rakyat di nusantara telah memiliki sebentuk “kepercayaan” religius (bukan sekuler). Mereka adalah penganut animism (percaya pada kekuatan roh) dan dinamisme (percaya kepada kekuatan yang menggerakkan). Dari titik ini, menjadi keliru bila ada upaya ekstrem untuk sepenuhnya menyingkirkan keyakinan religius di panggung sosial politik negeri ini. Kompromi rasional adalah dengan memberikan ruang terbatas dan demarkasi yang jelas, antara wilayah politik yang sekuler dengan aspirasi agama. Yudi Latif menyebutnya dengan metode diferensiasi (pembedaan).

Sebenarnya masih banyak ragam hal yang menarik dari buku tebal ini. Tetapi yang mengagumkan adalah bahwa semua bagian dan detil dari isi buku, seluruhnya padat dengan dokumen sejarah dan tawaran solusi yang cerdas. Hingga sah saja, ketika diluncurkan, buku ini mendapat pujian di mana-mana. Selamat membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar